Seorang teman perempuan hubungan dengan pacarnya kandas, katanya memang tidak cocok. Menurut saya sih, bukan nggak cocok, sorry to say, memang dia (si perempuan) yang kurang ajar. Seringkali menguji pasangan, main-main dengan emosi pacarnya. Suka marah berlebihan bukan karena memang merasa marah, tapi karena ingin ‘mengetes’ sang kekasih. Wajar kalau pacarnya merasa kurang dihargai dan memilih putus menurut saya.
It made me think. Haruskah seorang wanita menguji pasangannya??
Post ini ditulis bersama oleh Novi dan akan dilanjutkan oleh Jerry.
Bukan rahasia lagi bahwa karakter asli seseorang akan lebih jelas terlihat ketika dia berada di bawah tekanan. Dalam perasaan dan situasi yang sulit, kita bisa melihat apakah seseorang benar-benar punya karakter yang baik atau tidak.
Tidak jarang, sebelum menikah kita dianjurkan untuk menguji pasangan. Untuk tahu karakter aslinya, untuk tahu apakah kita akan cocok. Namun kita harus hati-hati. Ada hal-hal yang tidak seharusnya kita lakukan. Bukannya teruji dengan baik, hubungan yang sudah dibangun justru bisa terancam kandas secara sia-sia hanya karena kebodohan kita.
Saya setuju bahwa memang sifat asli seseorang seringkali tidak terlihat selama pacaran, tapi menguji pasangan sebelum menikah tidak harus dengan pertanyaan atau situasi tertentu yang kita ciptakan. Mengapa harus membuat pertanyaan atau skenario yang menjebak?
Banyak perempuan tidak sadar kalau tindakannya ‘mengetes’ calon pasangan seringkali tidak tepat karena dia sedang tidak menghormati calon suaminya. Most women don’t consider men’s need to be respected. Sengaja mengulur waktu dan membiarkan si dia menunggu. Pura-pura marah demi melihat apakah si pria orang yang sabar. Well, bukankah menguji kesabaran seseorang dengan sengaja itu bisa dibilang cukup kurang ajar?
I don’t know about men, but women often do this. Ask some tricky questions, create a drama, just to find out the answer of this question: is he the right person?
The things women usually consider to test if a man is the right one:
1. Membuatnya marah dengan sengaja
Ketika mendengar bahwa kami berdua tidak pernah bertengkar hebat, saya ingat seorang teman menyarankan agar saya “cari perkara” dengan pacar, supaya lebih kenal karakter asli katanya. Apakah si dia akan bicara kasar ketika marah besar, berbuat kekerasan secara fisik, atau menunjukkan sikap yang gentleman?
I never did as she told me. Bukan karena saya sudah tahu bagaimana dia marah, melainkan karena saya ingin menghormatinya. Membuatnya marah dengan sengaja justru menunjukkan bahwa saya tidak menghormatinya dengan mempermainkan emosinya.

2. Sengaja menunjukkan karakter jelek
Waktu masih kuliah dulu, seseorang sengaja mengganggu saya. Katanya dia ingin saya tahu karakter jeleknya, supaya dia tahu apakah saya bisa menerima dia apa adanya atau tidak. Ternyata bukan hanya saya yang diujinya, tapi hampir setiap teman lawan jenis. Tujuannya untuk mencari seseorang yang bisa menerima dia apa adanya. Sengaja menunjukkan karakter jelek, dia justru sedang menunjukkan insecurity. Takut tidak diterima dan tidak dikasihi.
Saya tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang, tapi setahu saya di usia yang sudah mapan ini dia masih belum menikah. I think no one dares to marry an insecure person. Sebaliknya, sebagai orang yang insecure, sulit baginya mempercayai seseorang yang menerima dan mengasihinya dengan tulus.
Tanpa harus sengaja ditunjukkan, karakter jelek kita yang asli pasti akan terlihat oleh pasangan suatu hari nanti. Kalau dia seorang yang sungguh mengasihi Tuhan, dia akan menerima dan mencintaimu seperti Tuhan mengasihimu.
3. Menciptakan drama
Pura-pura sakit atau sedih demi diperhatikan oleh si dia bukan solusi cerdas untuk menguji cinta seseorang. Cinta sejati tidak membutuhkan drama dan keindahannya nyata tanpa harus di-setting.
Tidak menjadi diri sendiri serta tidak bersikap apa adanya demi melihat reaksi seseorang menunjukkan betapa kita justru tidak mencintainya. Hanya orang yang tidak tulus mencintai yang berpikir untuk memanipulasi pasangannya seperti yang dilakukan Amnon terhadap Tamar.
4. Menguji dengan kata-kata
“Kenapa nggak pacaran sama X aja? Dia kan lebih cantik dan baik?”
“Mantan kamu kan lebih baik daripada aku. Kok kamu lebih milih aku daripada dia?”
“Apa yang akan kamu lakukan jika suatu saat mantan aku datang untuk mengajak balikan?”
Menguji pasangan dengan pertanyaan semacam ini kelihatannya merupakan ujian berat bagi sang kekasih, namun sebenarnya justru sedang memberatkan si penanya.
Dua kali disebutkan dalam kitab Ayub bahwa telinga menguji kata-kata, seperti langit-langit mencecap makanan. Apapun kata-kata yang kita lontarkan pada kekasih akan diujinya seperti merasakan makanan. Kalau enak di telinganya, tentu kita dianggap manis sebagai kekasihnya. Kalau kata-kata kita terdengar tidak enak seperti ini, hmm…. sorry to say, mungkin justru kita yang harus tes diri sendiri apakah kita buah yang manis atau buah yang pahit untuk calon pasangan kita?
5. Menyamar atau menyuruh orang lain menggodanya
Untuk menguji pasangan, tidak jarang ide untuk memunculkan “orang ketiga” muncul. Kalau ada yang tiba-tiba mendekati dan menggodanya, apakah dia akan tetap setia? Some people might think that this is a good idea. Do you think so?
Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya? – Amsal 20:6.
Kalau Tuhan saja tidak menemukan orang yang setia, bagaimana kita bisa berharap menemukannya?
Membaca ayat ini menyadarkan saya bahwa baik suami maupun diri saya sendiri tidak bisa disebut orang yang setia, sekalipun sampai detik ini kami tidak pernah saling mengkhianati satu sama lain. Namanya hati memang licik. Tidak seorang pun bisa setia tanpa Tuhan yang setia.
Tapi menguji pasangan dengan godaan orang ketiga justru sangat berbahaya. The very idea is very evil. Bukannya menguatkan kesetiaan seseorang, sebaliknya kita justru menyeretnya jatuh dalam dosa.
Apakah menurutmu benar bahwa kasih berarti menguji orang yang kita cintai dengan menceburkan mereka ke lembah cobaan?
Tapi kalau begitu, apakah berarti juga bahwa kekasih tidak perlu diuji?
Note: bagian selanjutnya artikel ini ditulis oleh Jerry.
Novi membawa suatu poin yang valid dalam sebuah hubungan: Apakah kita perlu menguji pasangan kita??
Dalam 10 tahun pernikahan saya, apakah saya pernah menguji istri saya Trisya? Jawabannya Yes, pernah.
Yes saya pernah menguji istri saya, tapi ujian tersebut datang secara natural, bukan rekayasa buat-buatan atau direncanakan dengan sangat khusus (pre-meditated).
Saat itu temanya adalah ujian finansial. Saat keuangan kami sedang krisis, saya harus memberikan budget limit kepada istri saya. Saya harus “memperketat” uang yang saya berikan ke dia. Saya minta tolong istri untuk membuat estimasi pengeluaran rumah tangga kita setiap bulan dan meminta dia untuk mengkontrol jangan sampai kebablasan.
Ini bukan ujian yang dibuat-buat. Memang situasi kami sedang krisis dan harus dilakukan kontrol. Tapi bagaimanapun juga, situasi ini secara tidak langsung mengijinkan saya untuk “menguji” dia, untuk menilai seberapa kompeten istri saya dalam melalui sebuah ujian keuangan dan pengendalian diri dalam berbelanja.
Sepanjang pernikahan kami, tidak terhitung banyaknya situasi-situasi seperti ini yang secara tidak langsung mengijinkan kami untuk saling menguji satu sama lain. Marriage means pressure.
What I’m trying to say:
By default, LIFE + TIME akan = TESTS. Gak perlu kreatif bikin-bikin sendiri ujian versi kita untuk dikasih ke orang lain.
Pasangan kita, 100% dijamin dia sedang melalui suatu ujian entah saat ini atau di masa lalunya, entah dia sadari atau tidak sadari, entah dia ceritakan atau sembunyikan.
Kalau kita tidak bisa melihat ujian-ujian itu dalam hidup pasangan kita, I think ada yang salah dengan kita atau hubungan tersebut.
Worth repeating: kalau untuk bisa mengenal seseorang dengan baik dan mendalam kita harus sampai “menciptakan” ujian-ujian untuk dilemparkan ke orang itu, kemungkinan besar ada masalah di diri kita sendiri atau di hubungan tersebut.
Saya hampir yakin kalau pernikahan yang dibangun atas dasar kepercayaan bahwa pasangan harus “di-tes secara khusus”, pernikahan tersebut punya kemungkinan besar collapse.
Karena “Tes Khusus” itu sendiri sudah mengindikasikan ada bangkai di dalam tembok. Krisis kepercayaan, insecurity, luka batin, kepahitan, ketidak-dewasaan, keegoisan…those kinds of smell.
Seseorang yang bijak akan bisa menguji pasangan cukup dengan melihat bagaimana dia melalui setiap peristiwa dalam hidupnya. Tidak perlu bikin-bikin tes.
Saat membangun hubungan, dua orang akan saling menceritakan lembaran-lembaran kehidupan mereka, sambil menuliskan lembaran-lembaran baru bersama-sama. Dari sini saja kita sudah bisa banyak menilai tentang kepribadian seseorang.
Alkitab menyebut ini sebagai proses “Dua Menjadi Satu” (Mat 19:6).
If you love someone, you pay attention.
If you really love someone, you really pay attention.
The more you love someone, the more you pay attention.
By really paying attention to someone’s life, thoughts, stories and actions, you will be able to give scores to someone’s character, and make the final decision.
Apakah “Tes Khusus” mengindikasikan kepribadian yang belum matang, seperti anak-anak yang belum bisa memberikan penilaian akan sesuatu yang ada di depan matanya? I think it’s very possible.
Because the childish person tests someone by creating childish tests, because a childish person doesn’t understand life itself and doesn’t know how to make life decisions.
The mature person knows he doesn’t need to create test, because he/she understands life itself is a test, therefore he tests someone by watching really closely how the person handles the many situations of life, and the mature person is able to judge and make his decision.
Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” – 1 Samuel 16:7,
Shalom, bagaimana dengan menguji apakah si dia adalah jodoh/pasangan hidup dari Tuhan? Pentingkah tanda supranatural dari Tuhan seperti hamba Abraham & Gideon?
Sekian dan terima kasih .Tuhan Yesus memberkati
Shalom, Christian..
Terima kasih untuk pertanyaannya.
Kita bisa berdoa minta tanda dari Tuhan. Sama seperti Dia sudah menjawab para tokoh Alkitab itu, demikian pula Dia akan menjawab kita. Tidak selalu harus dengan cara yang supernatural, karena iblis pun bisa berbuat hal-hal yang supernatural. Cara Tuhan lebih indah dari yang kita pikirkan.
Namun satu hal perlu diingat baik-baik: kita tidak akan bisa mengerti arti tanda yang Tuhan berikan dan kehendak-Nya tanpa hubungan pribadi yang dekat dan intim dengan Dia. Jika kita sungguh mengenal-Nya, maka kita akan mengerti pribadi seperti apa yang Tuhan inginkan untuk menjadi pasangan hidup kita.
Tuhan memberkati!
Tambahan:
Pasangan hidup dari Tuhan membawamu makin dekat pada Tuhan.
Pasangan hidup dari Tuhan juga mendukungmu, bahkan bisa bekerjasama denganmu untuk melakukan kehendak Tuhan
Terima kasih atas balasannya. Tuhan Yesus memberkati
Shalom, bagaimana dengan menguji apakah si dia adalah jodoh/pasangan hidup dari Tuhan? Pentingkah tanda supranatural dari Tuhan seperti yg dialami hamba Abraham dan Gideon?
Sekian dan terimakasih .Tuhan Yesus memberkati