Katanya pria adalah manusia yang lebih logic dan ‘task-oriented’. Jadi ketika dia mengejar, dia benar-benar mengejar! Setelah dapat, dia langsung move on ke target selanjutnya yang harus dikejar.
Katanya, begitu juga dalam pernikahan. Setelah “mendapat” si wanita yang dikejar, pikiran si pria langsung bergerak ke target selanjutnya. Yaitu apa ?
Biasanya: MENCARI UANG atau PEKERJAAN.
Masuk akal dong. Setelah nikahi anak perempuan orang, sekarang saatnya membiayai si perempuan ini dan calon anak yang kemungkinan menyusul. Katanya begitu kira-kira isi pikiran pria pada umumnya.
Lalu si pria bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja sampai dia berhasil mengumpulkan banyak. Tapi kemudian sang istri mengeluh, “Kamu kerja melulu isi pikirannya! Kita tidak pernah ada waktu berdua lagi. Kita seperti dua orang asing.”
Ini adegan yang terjadi di hampir semua pernikahan di seluruh dunia ini. Yang masih single, please take note. Yang sudah menikah, does this sound familiar ?
Di titik ini, si pria mulai kebingungan, si wanita mulai kesepian, pernikahan mulai keteteran. Hampir semua pasangan mengalaminya, termasuk saya dan istri saya, Trisya, yang padahal dipersatukan oleh Tuhan.
Photo by Suresh Kumar on Unsplash
Take this: Life doesn’t get easier with Jesus. He makes you stronger to overcome it! Including marriage life!
Tahun ini kami akan merayakan ulang tahun pernikahan ke 10. Yeay! Tapi yang orang perlu tahu adalah, saya menjalani 7-8 tahun pertamanya dengan ketidak-seimbangan antara pekerjaan dan keluarga, sampai beberapa kali sangat mengoncangkan fondasi pernikahan kami dengan hebat.
Ambisi adalah sebuah “roket pendorong” yang diijinkan Tuhan untuk mendorong kita “take off” ke atas. Dan ketika kita sudah masuk “orbit”, roket tersebut dicopot dan dibuang.
Ini adalah artikel pertama dalam kategori tulisan baru “Pekerjaan dan Keluarga” di blog JerryTrisya. Kategori tulisan baru ini dimulai karena dalam perjalanan pribadi dan menjadi mentor pernikahan, saya tahu dengan pasti banyak pernikahan di luar sana yang menderita dan menanggung beban berat karena ketidak-seimbangan antara pekerjaan dan keluarga ini.
Untuk artikel yang pertama ini, biarlah saya yang memulai dengan menceritakan beberapa kesalahan dan pelajaran dari menghadapi dilema pekerjaan dan keluarga di tahun-tahun awal tersebut.
Saya Cinta Tuhan, Tapi Saya Juga Ingin Merasakan Sukses
Pada waktu kami menikah, saya berusia 26 tahun dan belum lama selesai kuliah. Saya sudah menerima Tuhan dalam hidup dan lahir baru dalam Roh Kudus. Saya cinta Tuhan dan bersyukur atas karya-Nya dalam memperlihatkan pasangan hidup saya dan mempersatukan kami.
Tapi saya masih ingin merasakan sukses.
Setelah keluarga mengalami kebangkrutan saat masih remaja, saya terbentuk menjadi pribadi yang highly driven, kompetitif dan bertekad untuk berhasil.
Melihat ke belakang 10 tahun kemudian hari ini dan merefleksikan dari Alkitab, I think God somehow allows humans to dream….even their own dreams…but only to a certain level. Tuhan seringkali membiarkan kita bermimpi, merangkul sisi itu yang sebetulnya juga cerminan dari diri-Nya, yang selalu punya mimpi untuk setiap anak-anakNya sejak dunia diciptakan.
Tapi Tuhan juga tahu manusia tidak bisa dibiarkan terus larut dalam mimpinya sendiri. Seperti pelajaran dari menara babel, Tuhan membiarkan manusia mengembangkan kemampuannya sampai sedemikian rupa, tapi tidak sampai titik dimana mereka bisa merasa seperti menjadi tuhan.
“kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” – Kejadian 11:4.
Apakah ambisi sesuatu yang buruk ?
Hari ini saya bisa berkata hal ini seperti perjalanan ke luar angkasa. Ambisi adalah sebuah “roket pendorong” yang diijinkan Tuhan untuk mendorong kita “take off” ke atas. Dan ketika kita sudah masuk “orbit”, roket tersebut dicopot dan dibuang.
Ambisi adalah sesuatu yang somewhat penting untuk dipakai Tuhan untuk mendorong kita masuk “orbit-Nya”. Tapi setelah selesai menjalankan fungsi yang dimaksudkan oleh-Nya, roket ambisi yang dashyat itu akan segera memasuki masa “shut down” dan kemudian harus “dicopot” dari kehidupan kita.
Sangat penting untuk roket tersebut dicopot dari kapsul utama pesawat luar angkasa, karena kalau tidak dicopot, roket yang sudah “shut down” tersebut akan membebani kapsul utama untuk menjalankan “panggilannya” menjelajah angkasa raya yang begitu luas.
Saya melihat Tuhan menggunakan masa-masa “ambisius” saya sebagai “roket” untuk mengasah karakter dan mengajarkan pelajaran-pelajaran mengenai realita kehidupan.
Tapi saya sempat terlalu lama berpegang pada roket pendorong itu, sampai akhirnya “dicopot paksa” oleh Tuhan, akhirnya saya mengerti, dan kini saya menjelajah “cakrawala Tuhan” dengan begitu ringannya.
No one on his deathbed ever said, I wish I had spent more time on my business. – Paul Tsongas.
Saya Memulai, Tapi Lupa Kalau Setelahnya Harus Menjalani
You know, kehidupan pada usia belasan dan 20 tahun-an adalah kehidupan yang temanya “memulai sesuatu”. Mulai pacaran, mulai kuliah, mulai cari kerja, mulai mengendarai mobil pertama, dll.
Tapi kehidupan setelah usia 20an akan segera memasuki musim baru, yaitu musim “menjalani” (baca tulisan “Masuk Usia 30: Totally Different Reality”). Di musim ini kita harus belajar untuk menjalani apa yang telah kita mulai, membangun di atas dasar yang telah dibuat, termasuk pernikahan.
Saya telah memulai pernikahan dengan baik, tapi kemudian “move on” ke hal selanjutnya dan lupa kalau taman indah yang sudah saya mulai ini harus dipelihara secara serius. Saya sempat tertidur dalam pikiran bahwa kalau sudah dipersatukan oleh Tuhan, maka semuanya akan aman, akan beres.
Lalu suatu hari saya dibangunkan oleh sebuah pikiran yang keras menghantam: “pernikahan saya bisa kandas nih kalau begini terus!”. Pernikahan yang dipersatukan oleh Tuhan dengan tanda-tanda yang jelas. Bisa kandas. Kecuali saya berubah dan balik arah.
Dan berbaliklah saya, seperti nahkoda tergesa memutar-balikkan kapal karena melihat bencana di depan.
Teman-teman, kalau dirimu termasuk yang rajin kerja atau bahkan “gila kerja” atau ambisius, ingatlah bahwa kita harus membangun apa yang kita mulai, memupuk apa yang kita tanam, sampai bertumbuh besar dan berbuah lebat. Hidup tidak bisa terus menerus tentang memulai ini, memulai itu, mencapai ini, mencapai itu. Cannot. Know the season and tend your field, make them grow.
Saya Lupa Untuk Siapa Semua Ini Pada Awalnya
I think ada juga momen dimana fokus saya beralih dari “tentang menghidupi anak dan istri” menjadi “tentang menjadi yang terbaik (dalam pekerjaan)”. Ambisi menyala-nyala membuat gelap mata, sampai semua fokus dan energi dikerahkan untuk menjadi yang terbaik dalam bidang pekerjaan saya. Ini salah satu kasus yang paling sering ditemui dalam masalah pekerjaan dan keluarga.
Tapi ketika berhasil mencapai apa yang saya inginkan, saya melihat ke pernikahan saya dan tidak bisa disembunyikan kekeringan yang tampak akibat keegoisan saya. Lalu berlanjut ke poin selanjutnya…
Saya Tidak Sepenuhnya Sadar Mana Yang Lebih Penting, Mana Yang Bertahan Dalam Badai dan Mana Yang Lebih “Worth Dying For”
Lalu suatu saat situasi dalam pekerjaan saya sedang kacau balau dan saya mengalami stress. Istri saya berkata pada saya, “Pa, ingat ya. Kerjaan bisa datang dan pergi, tapi saya dan anak-anak tidak akan ke mana-mana. Kami selalu ada bersama kamu.”
That was one of the biggest turnaround moment…
Pekerjaan akan datang dan pergi. Prestasi dicetak lalu dilupakan. Tapi ketika badai besar menghantam, yang akan berdiri disampingmu adalah keluargamu, bukan boss mu atau rekan-rekan kerjamu atau perusahaanmu. Ada juga ketika krisis menghantam, perusahaan akan berpikir untuk memecatmu!
Take this quote: “No one on his deathbed ever said, I wish I had spent more time on my business.” – Paul Tsongas.
Tidak ada orang berpikir ingin kerja sedikit lebih lama lagi ketika di ambang ajal. Tidak ada orang yang menjelang ajalnya minta ketemu boss atau minta piala-pialanya.
Orang yang mati karena gila kerja tidak pernah dibangga-banggakan di rumah duka. Beberapa artikel tentang penyesalan-penyesalan utama orang yang sekarat semua mengingatkan bahwa Family Is Worth Dying For, Not Work.
Tuhan Mengijinkan Kita Mencicipi Ambisi Untuk Mengetahui Betapa Lebih Manisnya DIA
Dan pada akhirnya, setelah diijinkan mencicipi rasanya mencapai ambisi oleh Tuhan…ternyata rasanya tidak semanis itu. I was happy, but not as happy as my mind previously expected. Ambition is an over-promise, an illusion of happiness.
Take it from Jim Carrey, the famous actor: “I think everybody should get rich and famous and do everything they ever dreamed of so they can see that it’s not the answer”
Saya temukan ternyata bisa mendengar suara-Nya, bisa berbicara dengan-Nya dan mengenal diri-Nya rasanya jauh lebih manis dari ambisi. Bahkan bedanya jauh sekali seperti bunyi dan langit!
It was not even worth comparing!
Tepat di momen itu, terbukalah pikiran saya akan apa yang Paulus maksudkan di Filipi 3:7-8:
“Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus…..oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus”
Paulus, Contoh Si Orang Gila Kerja
Merefleksikan dari Saulus (kemudian menjadi Paulus), yang adalah orang gila kerja, ambisius, berani, rajin dan bersedia untuk membayar harga untuk mencapai impian pribadinya….termasuk “tanpa batas menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya” (Galatia 1:13).
When Saul works, he gets the job done.
Saulus modern adalah orang yang pulang kantor jam 2 pagi demi mengejar deadline atau mengejar 10 meetings tiap hari, hadir di rapat tender saat hari ulang tahun anaknya atau bahkan mungkin sampai berani menyuap sana-sini untuk bisa menang. Dan dia telah menang, menjadi salah satu murid terbaik!
Tapi pada akhirnya, ketika dia mengecap setetes saja manisnya pengenalan akan Tuhan, langsung semua kejayaannya itu dibuang habis-habisan.
Kalau Paulus punya istri dan anak saat itu, saya yakin dia akan putar balik melepas ambisi dan gila kerjanya untuk kembali fokus ke keluarganya.
Karena Saulus si pemburu karir berubah menjadi Saulus si pemburu harta karun Sorgawi…..dia “berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah” – Filipi 3:14
Dan dia tahu ada RAHASIA BESAR dalam pernikahan dan keluarga….sebuah HARTA KARUN :
“RAHASIA INI BESAR, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.” – Efesus 5:32-33.
Dia tahu, bahwa DALAM PERNIKAHAN YANG BERHASIL, ADA HARTA KARUN SORGAWI YANG BESAR.
Dan dia menganjurkan kita semua yang sedang bingung memilih antara pekerjaan dan keluarga untuk memlih harta yang terbaik, yaitu pernikahan dan keluarga kita yang di dalam Tuhan.
What do you think?