“Sekarang gendutan ya?” …..saya diejek gendut oleh seorang ibu pas lagi makan di kantin gereja beberapa bulan lalu sebelum saya menikah.
Saya tersenyum saja tanpa berkata apa-apa. Sudah biasa orang bilang saya gendutan. Lebih dari dua puluh tahun saya hidup sebagai orang yang super kurus. Bisa lebih berisi, saya merasa senang. Kelihatannya lebih sehat.
Dengan tenang, saya menyuapkan lagi sesendok nasi ke dalam mulut.
“Tuh lihat pipinya… perutnya…. Padahal dulu langsing! Makan terus sih!” lanjutnya lagi dengan telunjuk ditudingkan pada saya. Sikapnya makin nyolot!
Kali ini saya tersinggung dan memilih untuk mengabaikannya sama sekali. Toh saya nggak kenal sama dia. Insignificant person!
Saya benar-benar tersinggung. “Kurang ajar!!”, kata batin saya. Mentang-mentang dia lebih tua, seenaknya saja saya diejek gendut, banyak makan. Tapi saya berhasil menahan diri dan memilih untuk diam.

Lagipula, kalau saya tanggapi perkataan pedaslah yang akan meluncur nantinya. Merasa suaranya tak didengar, ia pun pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Pulang dari gereja, saya masih merasa sebal diejek gendut oleh ibu itu. Seenaknya aja ngomong! Memangnya dia nggak makan terus? Orang hidup itu tiap hari pasti makan, sehari tiga kali! Kalau sudah gendut terus nggak boleh makan gitu ya?
Saya benar-benar tersinggung. Kurang ajar, batin saya. Mentang-mentang dia lebih tua, seenaknya saja menuding saya gendut, banyak makan. Kayak dia langsing aja! Nggak sadar kalau perutnya sendiri menyembul!
Ketika sudah lebih tenang di dalam kamar, saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa yang membuat saya begitu tersinggung? Sikapnya yang menuding-nuding? Ekspresi mukanya yang mencemooh? Kata-katanya? Atau kebenaran dari apa yang dikatakannya?
Kebenaran kadangkala menyakitkan, tidak mudah untuk diterima.
Dengan malu harus saya akui, memang benar saya gendutan. Saat itu saya menjelang tiga bulan lagi ke pernikahan. Berat badan saya bukannya turun, malah naik! Makin berusaha jaga makan, malah makin mengembang ke kiri dan ke kanan. Does other bride experience this too?
Saat itu saya sedang membaca kitab Injil (4 kitab pertama perjanjian baru). Sering sekali Tuhan Yesus berbicara kebenaran dan menyatakan kesalahan. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pun tersinggung, sekalipun mereka adalah rohaniwan.
Kebenaran bagaikan terang yang menelanjangi kehidupan kita. Merasa malu, kita justru marah. Lalu menolak mentah-mentah kebenaran yang disampaikan. Jangan sampai kita hidup seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat! Terlihat dekat dengan Tuhan, namun sesungguhnya paling menolak Dia.
Tentunya hal ini juga tidak saya harapkan. Memang benar saya gendutan. Sudah waktunya mengontrol dan menjaga pola makan. Saya harus dengan rendah hati menerima ‘kebenaran’.
Meski demikian, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa saya telah tersinggung. Puji Tuhan, waktu itu ada nasi di mulut saya. Coba lagi kosong, saya mungkin tidak segan untuk melabraknya, mengingat betapa tersinggungnya saya tadi!
Kalau bukan karena Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu, saya pasti telah bertengkar dengan ibu itu. Marah-marah karena perkataan dan sikapnya. Lalu jadilah gosip baru di gereja!
Thanks God, it did not happen! Tuhan tahu dan kenal ibu itu. Dia juga tahu bahwa saya pasti akan tersinggung dan sakit hati. Dia tidak mencegah kejadian itu, tapi campur tangan-Nya justru membuat saya belajar.
“Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang” – Amsal 12:18a.
Di mana pun kita berada, ke mana pun kita pergi, memang selalu ada orang seperti ini. Firman Tuhan pun telah menyatakan eksistensinya. Mau sebaik apapun kita hidup, sesempurna apapun yang kita tampilkan, kalau ada mulut lancang ya tetap saja kata-kata pedas akan meluncur memerahkan telinga serta memanaskan hati.
Wajar kalau tersinggung. Kita kan punya perasaan. Walaupun benar yang dikatakan ibu itu, tetap saja hati ini sakit diperlakukan demikian.
Ketika saya merenungkan apa yang telah terjadi, Roh Kudus mengingatkan saya juga bahwa bodohlah yang menyatakan sakit hatinya seketika itu juga, tetapi bijak, yang mengabaikan cemooh (Amsal 12:16).
Cemooh memang tak terhindarkan. Kita hidup dan dipandang oleh orang-orang berdosa, bahkan ketika ada di gereja. Pribadi yang sempurna seperti Tuhan Yesus saja bisa dicemooh, apalagi kita yang penuh ketidaksempurnaan.
Namun seperti Tuhan Yesus yang diam dan mengabaikan cemooh ketika Ia disiksa dan disalib, seperti itulah seharusnya kita berespon. Bukankah kita dipanggil untuk hidup makin serupa Kristus setiap hari?
Luar biasa.. Saya diberkati..
Ditunggu tulisan-tulisan penuh hikmat selanjutnya.. Tuhan Yesus memberkati